Sabtu, 03 Oktober 2009

CRITICAL BOOK REVIEW


CRITICAL BOOK REVIEW

Oleh : Beslon Samosir NIM. 809225002 Angkatan XVI Tahun 2009
Prodi: Teknologi Pendidikan Program Pasca Sarjana UNIMED.

Judul buku: Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (Jakarta), team penulis Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud RI, 1982. Buku ini sebuah laporan penelitian dengan ciri-ciri fisik, ukuran 15,5 x 23 Cm, halaman muka viii halaman, halaman isi 120 halaman, termasuk daftar index dan daftar kepustakaan, serta dilengkapi dengan dua buah lampiran yaitu peta lokasi daerah penelitian desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, dan peta Daerah Istiewa Yogyakarta.



DESKRIPSI BUKU.
Latar belakang masalah: Latar belakang masalah didasarkan oleh penulisnya kepada proses perubahan kebudayaan yang terjadi di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya. Hal tersebut mempengaruhi bentuk dan sifat gotong royong yang ada dalam masyarakat, umpamanya dalam bidang pertanian, bentuk dan sifat gotong royong berubah menjadi sistem upah. Pada pihak lain, pembangunan yang dilaksanakan dewasa ini merupakan proses pembaharuan di segala bidang. Proses tersebut dengan sendirinya menuntut perubahan dalam masyarakat. Di antara kebudayaan yang sudah dipengaruhi oleh proses perubahan tersebut ialah berbagai bentuk gotong royong yang bersifat spontan, yang berpamril ataupun yang bersifat memenuhi kewajiban sosial. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut disimpulkan oleh penulisnya telah terjadi perubahan dan kepunahan sistem gotong royong dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam kebudayaannya (hal 4-5).
Tujuan penelitian: Berdasarkan latar belakang masalah di atas tujuan penelitian tersebut dikatakan oleh penulisnya ialah untuk mendapatkan gambaran tentang sistem gotong royong bagi Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud RI untuk dapat disumbangkan dalam penyusunan kebijaksanaan nasional di bidang kebudayaan (hal 5).

Metode penelitian: Metode yang dipergunakan menggambarkan realitas sosial tentang sistem gotong-royong untuk mencapai tujuan penelitian di atas ialah penelitian yang bersifat deskriptif (hal 7).
Lokasi penelitian diambil salah satu desa yang dipandang representatif yaitu desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan penulisnya mengambil desa ini sebagai lokasi penelitian karena: (1) Desa Condong Catur merupakan daerah yang masih tampak pola hidup pedesaannya sehingga diharapkan dapat mewakili daerah-daerah pedesaan yang lain dilingkungan daerah istiewa Yogyakarta; (2) Desa Condong Catur merupakan daerah pedesaan yang dalam kehidupan sehari-hari tampak adanya gejala-gejala pengaruh pola kehidupaan perkotaan sehingga memungkinkan untuk melihat pengaruh pola hidup perkotaan terhadap sistem gotong royong di daerah pedesaan (hal 2).
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara bebas atau free interview dengan daftar pertanyaan yang diajukan tidak berstruktur, sifatnya terbuka, sehingga dimungkinkan untuk mengembangkan pertanyaan lebih luas lagi. Disamping itu, dilakukan juga wawancara mendalam atau depth interview untuk mendapatkan jawaban yang lebih luas tentang masalah tertentu yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. Juga dilakukan observasi partisipasi yaitu pengamatan tingkah laku dan tindakan warga desa Condong Catur dalam kehidupan sehari-hari tentang sistem gotong-royong untuk memperoleh kelengkapan data tentang keadaan masyarakat di daerah penelitian. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data melalui buku-buku di perpustakaan yang ada hubungannya dengan masalah penelitian sehingga diharapkan akan tersedia data yang lengkap tentang masalah penelitian ini (hal 10-11).

Hasil-hasil penelitian kegiatan gotong royong tolong-menolong dalam penelitian ini mencakup empat sektor yaitu: (1) dalam bidang mata pencaharian; (2) bidang teknologi dan perlengkapan hidup; (3) bidang kemasyarakatan; dan (4) bidang religi dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat (hal 48-80). Dalam hal ini penulis memberikan batasan tentang gotong royong karena berasal dari bahasa Jawa, gotong artinya bekerja dan royong artinya sama, sehingga gotong royong berarti kegiatan kerja sama. Gotong royong tolong menolong sering juga disebut sambatan atau sambat sinambat yang dilakukan oleh warga masyarakat sebagai suatu kewajiban sosial yang harus dilakukan, tetapi terbatas pada kepentingan perorangan dalam masyarakat, umpamanya dalam hal mendirikan rumah, mengolah tanah pertanian, melakukan upacara dan selamatan berkenaan dengan peristiwa perkawinan, kematian dan sebagainya (hal 104-105).
Pertama: Kegiatan gotong royong tolong menolong dalam bidang mata pencaharian yang disebut juga namanya sambatan atau sambat-sinambat, terdapat dalam kegiatan pertanian yang membutuhkan pengerahan tenaga kerja yang secara bersama-sama melakukan suatu pekerjaan. Misalnya pekerjaan yang disebut tandur saat orang mulai melakukan penanaman padi untuk pertama kalinya, kemudian derep saat orang mulai mengerjakan pemetikan padi atau panen. Baik tandur maupun derep pada umumnya dilakukan oleh kaum wanita. Dalam kegiatan semacam ini akan diundang para tetangga atau penduduk dari luar desa. Sebagai imbalan dari pekerjaan ini terutama derep adalah berupa penerimaan bagi hasil yang disebut namanya bawon atas pekerjaan yang telah dilakukan. Dalam sistem bawon sipekerja akan mendapat hasil antara 1/5 sampai 1/10 dari hasil pekerjaannya. Perlu diketahui bahwa pekerjaan derep bukanlah merupakan pekerjaan yang pokok bagi mereka, karena mereka juga memiliki areal pertanian yang sama (hal 49-57).

Kedua: Kegiatan gotong royong tolong menolong dalam bidang teknologi dan perlengkapan hidup terdapat dalam pembuatan rumah tinggal penduduk. Dalam hal ini hanya beberapa orang saja yang disambat atau dimintai pertolongan, biasanya terbatas pada tetangga yang terdekat saja. Pada umumnya di daerah pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk desa Condong Catur kegiatan gotong royong tolong menolong bidang teknologi dan perlengkapan hidup ini terbatas pada pembuatan rumah tinggal saja. Dalam pembuatan rumah tinggal ini rata-rata pekerjanya mengetahui apa yang harus dikerjakannya. Demikianlah sambatan ini pada hakekatnya merupakan pengarahan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu berdasarkan kesadaran bahwa manusia hidup diwajibkan untuk saling tolong menolong. Oleh sebab itu dalam pekerjaan ini tidak diharapkan imbalan jasa berwujud materil (hal 57-62) .

Ketiga: Kegiatan gotong royong tolong menolong dalam bidang kemasyarakatan dalam bentuk yang kongkrit adalah pengerahan tenaga dalam jumlah yang banyak secara spontan tanpa diminta ataupun direncanakan terlebih dahulu berkaitan dengan peristiwa kemalangan atau kesusahan, tetapi juga menyangkut peristiwa yang membahagiakan. Dalam peristiwa yang membahagiakan disebut rewang, sedangkan dalam peristiwa kemalangan disebut layat atau layatan. Baik dalam peristiwa rewang maupun layat kegiatan gotong royong tolong menolong diwujudkan melalui sumbangan atau nyumbang berupa uang, bahan makanan seperti gula, teh, beras ataupun yang lain oleh penduduk desa kepada sesamanya. Dalam hal ini masyarakat pedesaan tampaknya menempatkan kepentingan seorang warga adalah juga merupakan kepentingan atau urusan seluruh warga sehingga kegiatan gotong royong tolong menolong tersebut merupakan pranata sosial yang terdapat dalam masyarakat (hal 63-70).

Keempat: Kegiatan gotong royong tolong menolong bidang religi atau kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Umpamanya bila suatu keluarga hendak mengadakan selamatan yang disebut kenduren berkenaan dengan memperingati hari keseribu meninggalnya salah seorang anggota keluarga yang disebut nyewu dino hanya diikuti oleh laki-laki saja. Menurut anggapan masyarakat desa, sifat kegiatan kenduren adalah sakral yang dipimpin oleh seorang kaum atau kyai sehingga tidak melibatkan kaum wanita. Tetapi kadang-kadang dalam gawe semacam ini dapat diminta bantuan kaum muda yang disebut sinoman yang akan bertugas mempersiapkan hidangan bagi para tamu. Dalam semua kegiatan ini, tujuan perbuatan menolong disebut nandur kebecikan kepada sesamanya yang pamrihnya dapat dirasakan melalui rasa tentram dalam hidupnya atau bahagia dalam dirinya karena dapat melakukan kewajiban sosial ketika diminta pertolongan oleh tetangganya ( hal 71-80).

TINJAUAN KRITIS.
Buku ini terbit pada tahun 1982 dengan anggaran proyek inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan daerah dari direktorat jenderal kebudayaan Depdikbud RI tahun anggaran 1979/1980. Oleh sebab itu kegiatan penelitian ini merupakan pesanan instansi sebagaimana dikemukakan dalam tujuan diatas yaitu untuk mendapatkan gambaran tentang sistem gotong royong bagi Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud RI untuk disumbangkan dalam penyusunan kebijaksanaan nasional di bidang kebudayaan. Tentu setelah duapuluh tujuh tahun terbitnya buku ini dilakukan critical book review terhadapnya, banyak terjadi dinamika di daerah penelitian karena masuk dalam proses waktu. Terlepas dari semua hal itu, di bawah ini akan dihadirkan beberapa tinjauan kritis terhadap laporan penelitian tersebut.

Catatan kritis tentang masalah metodologis dapat dikemukakan beberapa di sini, pertama tidak terdapat rumusan operasional masalah budaya gotong royong yang dimaksudkan dalam bab pendahuluan, kedua tidak terdapat tinjauan teoritis tentang budaya gotong royong, padahal hal itu dapat diakumulasi dari sejumlah tulisan. Umpamanya: Kartodirejo, Sartono (1978) Kedudukan dan peranan sistem gotong royong dalam perkembangan masyarakat Indonesia; Koentjaraningrat (1977) Sistem gotong royong dan jiwa gotong royong; Siahaan, Tambun (1982) Prinsip dalihan na-tolu dan gotong royong pada masyarakat Batak-Toba, dan seterusnya. Disamping itu, informan atau responden tempat pengambilan datapun tidak dirinci secara teknis, yang dikemukakan hanyalah salah satu desa yang dipandang refresentatif yaitu desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah istimewa Yogyakarta. Karena beberapa hal di atas tidak dikemukakan oleh penulisnya, maka instrumen pengumpulan data lapanganpun tidak dapat ditemui dalam buku laporan penelitian tersebut.

Catatan kritis selanjutnya tentang dasar dan tujuan penelitian, dikatakan oleh penulisnya telah terjadi perubahan dan kepunahan sistem gotong royong dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam kebudayaannya, sehingga tujuan penelitian dikatakan oleh penulisnya ialah untuk mendapatkan gambaran tentang sistem gotong royong bagi Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud RI untuk dapat disumbangkan dalam penyusunan kebijaksanaan nasional dibidang kebudayaan. Mengingat dasar dan tujuan penelitian di atas begitu strategis karena tentang perubahan sosial dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional di bidang kebudayaan, sudah tentu pembaca manapun yang membaca buku ini ingin mengetahui lebih jauh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepunahan budaya gotong royong tersebut, budaya gotong royong mana yang masih eksis dan budaya gotong royong mana yang telah punah dalam daerah penelitian desa Condong Catur tersebut. Walaupun hal ini begitu strategis, tetapi dalam buku ini tidak dapat ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepunahan budaya gotong royong tersebut, budaya gotong royong mana yang masih eksis dan mana yang telah punah. Dalam buku ini yang dapat ditemukan sehubungan dengan hal ini ialah hasil-hasil penelitian kegiatan gotong royong tolong menolong sebagaimana dikemukakan dalam empat pointers diatas, dan kegiatan gotong royong kerja bakti, namun khusus yang terakhir ini tidak dikemukakan dalam critical book review ini karena bukan merupakan kegiatan gotong royong yang sifatnya spontan.

Catatan kritis berikutnya tentang hasil-hasil penelitian berkaitan dengan kegiatan gotong royong tolong menolong sebagaimana dikemukakan dalam empat pointers diatas. Hasil kegiatan gotong royong tolong menolong yang pertama bidang mata pencaharian, dan kedua bidang teknologi dan perlengkapan hidup dapat dibedakan yang satu sama lain. Sedangkan hasil kegiatan gotong royong yang ketiga bidang kemasyarakatan, dan keempat bidang religi dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat tidak dapat dibedakan satu sama lain. Sebabnya ialah karena apa yang dikemukakan pada bidang kemasyarakatan, itu juga yang dikemukakan pada bidang religi dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat, hanya saja yang terakhir ini ditambah dengan peran kaum atau kyai dalam kegiatan. Oleh sebab itu hasil penelitian yang ketiga dan keempat tersebut sebaiknya dapat dimengerti secara terintegrasi dan merupakan satu kesatuan.

Berdasarkan tinjauan kritis dalam critical book review ini tampaknya konsep akulturasi atau acculturation dan inovasi atau innovation relevan dipergunakan untuk melihat perobahan kebudayaan . Akulturasi terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat-laun diakomodasikan dan dintegrasikan kedalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dari kebudayaannya sendiri. Sedangkan inovasi terjadi karena pembaharuan dalam kebudayaan itu sendiri, biasanya karena mengalami penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan baru tenaga kerja, dan penggunaan teknologi baru, yang semuanya ini akan menyebabkan sistem produksi dan dihasilkannya produk-produk baru.

Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

LAPORAN LOKAKARYA 5 PROGRAM PENDIDIKAN GURU PENGGERAK ANGAKATAN 4 KOTA PEMATANGSIANTAR

    LAPORAN KEGIATAN   LOKAKARYA KELIMA   REFLEKSI KOMPETENSI CALON GURU PENGGERAK   THEMA: GURU SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN   ...